Wednesday, January 21, 2009

Proyek 10.000 MW Tahap II Butuh Dana Rp 234,3 Triliun

Dikutip dari Detik.com.

Jakarta - Kebutuhan dana pembangunan pembangkit listrik berskala 10.000 MW tahap kedua mencapai US$ 21,3 miliar atau sekitar Rp 234,3 triliun (kurs Rp 11.000/US$). Sebagian besar atau sekitar 64% diantaranya mengandalkan investor swasta.

Demikian disampaikan Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro dalam keterangan usai rapat dengan Wapres, PLN, Menneg BUMN Sofyan Djalil dan Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (21/1/2009).

Purnomo menjelaskan, memang tidak semua pembangkit 10.000 MW tahap kedua akan dibangun PLN. Sebagian besar pembangkit justru akan ditargetkan dibangun oleh swasta.

"Pembangunannya sebagian ditanggung PLN, sebagian lagi swasta," katanya.

PLN rencananya akan membangun sekitar 3.600 MW dengan investasi US$ 7,8 miliar atau sekitar Rp 85,8 triliun. Sementara 6.400 MW sisanya akan dibangun pihak swasta dengan investasi US$ 13,5 miliar atau sekitar Rp 148,5 triliun.

Sebagian besar pembangkit tersebut masih akan dibangun di Pulau Jawa, yaitu sebanyak 6.000 MW. Sedangkan sisanya sekitar 4.000 MW lebih akan dibangun di daerah-daerah luar Pulau Jawa.

Berbeda dengan proyek 10.000 MW tahap pertama, proyek percepatan tahap kedua kali ini didominasi tenaga baru dan terbarukan seperti panas bumi dan air.

"Jika tahap satu didominasi batubara, tahap dua akan didominasi sumber energi baru dan terbarukan. Perbandingannya PLTU 26%, sementara PLTG 14%, dan PLTP 42%. Sisanya energi lain," katanya.

Meski sudah dua kali mengelontorkan proyek percepatan pembangunan pembangkit listrik, bukan berarti pemadaman listrik bisa dijamin tidak terjadi lagi.

Bagi Purnomo, pemadaman bisa terjadi jika ada kerusakan teknis atau permintaan yang melebihi pasokan listrik.

"Kalau kita lihat ada pemadaman, jangan langsung berpikir itu karena pasokan yang tidak ada. Itu ada karena dua hal, karena memang persoalan teknis seperti korslet atau kerusakan trafo. Itu tidak bisa dibilang pemadaman. Kedua, memang karena defisit listrik seperti di Kaltim dan Sumbar," katanya.

Meski kini perekonomian dunia tengah dilanda krisis, pemerintah bertekad terus mengerjakan proyek percepatan ini. Karena belajar dari pengalaman krisis 1998, pembangunan infrastruktur harus diteruskan untuk memenuhi kenaikan permintaan yang tidak pernah terhenti.

"Meski krisis pembangunan pembangkit listrik ini tetap dilakukan. Mengacu pada krisis yang terjadi 1998 lalu, dimana proyek dihentikan, ternyata imbasnya terasa di 2000. Kita jadinya krisis listrik di tahun itu. Sekarang tidak, meski krisis, terus dilakukan pembangunan untuk penuhi kebutuhan. Karena kebutuhan tidak pernah berhenti," katanya.

(lih/qom)

No comments:

Post a Comment